Paus Yohanes Paulus II menuliskan dalam insiklik berjudul Gereja Ekaristi:

Melalui berbagai  skenario perayaan Ekaristi, aku memperoleh peng-alaman yang luar biasa – universal dan kosmik. Ekaristi sesungguhnya mempersatukan surga dan bumi, merengkuh dan merasuk ke semua insan ciptaan.

Berikut ini adalah rangkuman enam tahap sejarah Ekaristi dalam Gereja Barat, yang dimaksudkan untuk membantu pembaca lebih memaknai Ekaristi.

Eucharist1. Dari Passover ke Ekaristi

Umat Gereja Perdana melihat Perjamuan Malam Terakhir dari sudut pandang santapan Passover. Dilakukan di Ruang Atas, yang biasanya digunakan untuk diskusi Kitab Suci ber-sama imam.

Di atas meja pendek tersedia hidangan untuk mengenang penderitaan sebagai budak di Mesir – air garam (lambang air mata), dan sayur pahit. Buah-buahan dalam bakul. Roti tak beragi diletakkan disamping piala berisi anggur. Domba panggang yang melambangkan korban, dan torehan darah  domba pada pintu mengingatkan penyelamatan malaikat dari penjajahan Mesir.

Setelah memanjatkan Mazmur pujian kepada Allah, Yesus mengambil roti, mengucap syukur seraya ber-sabda: “Ambil dan makanlah. Inilah tubuh-Ku yang akan dikorbankan bagimu.” Roti itu adalah tubuhNya yang akan dipersembahkan melalui korban di kayu salib. Coba bayangkan perasaan para Rasul ketika mengikuti Ekaristi pertama bersama Yesus?

Pada akhir perjamuan, ketika mengambil piala berisi anggur, Yesus tidak melakukan toast sebagaimana layaknya. Tetapi Dia bersabda: “Ambil dan minumlah. Inilah darah-Ku yang akan ditumpahkan bagimu dan semua orang demi pengampunan dosa.”
Sekali lagi, Yesus menyinggung kisah sengsara yang akan dialamiNya di mana Dia akan menumpahkan darah-Nya. Ketika mereka minum dari piala yang sama dan makan dari satu roti, mereka mengalami kebersatuan dengan Kristus.  Kristus mewariskan Ekaristi kepada pengikut-Nya: “Lakukanlah ini sebagai kenangan akan Daku.”

2. Dari Perjamuan Menjadi Ibadat
Awalnya para Rasul menyebut Ekaristi sebagai “Memecah Roti” namun kemudian mereka merasa perlu memisahkan sisi ritual dari perjamuan makan. Sebab terjadi penyalahgunaan acara makan-makan (1 Kor 11:17-22) dan mereka ingin membuat ritual “Memecah Roti” sebagai ibadat yang sarat doa.

Para Rasul menuliskan perkembangan Ekaristi di akhir abad pertama. Ekaristi digeser ke hari Minggu untuk mengenang kebangkitan Krsitus. Sebagai ganti acara makan, umat Kristiani perdana memilih Liturgi Sabda yang meniru ibadat di sinagoga: terdiri dari pembacaan ayat-ayat Kitab Suci, nyanyian Mazmur dan kotbah.

Mereka lalu menambahkan doa umat dan pujian. Struktur dasar perayaan Ekaristi praktis sudah terbentuk pada tahun 150 (Santo Justin Martir). Ketika itu Misa biasanya diselenggarakan di rumah-rumah umat.

Ekaristi Minggu, ada dua bacaan oleh lektor, homili oleh imam, Doa Persembahan dan pembagian komuni. Kolekte dimaksudkan untuk membantu para janda, yatim piatu dan mereka yang berkekurangan. Tugas uskup, imam dan diakon sudah terinci sejak abad pertama.

Kini doa Persembahan Kedua (Second Eucharistic Prayer) biasanya singkat dan sederhana, meng-inspirasi doa yang dikarang Hippolyptus dari Roma (tahun 216). Kerangka dasar dari perayaan Ekaristi sudah terbentuk sejak awal dari sejarah gereja dan tetap langgeng hingga 2000 tahun kemudian.

openheartbible

3. Tubuh Kristus yang Berkembang
Tahun 313 adalah titik peralihan Kristianitas.Pembantaian umat Kristen berakhir. Konstantin membebaskan umat dan menyumbangkan banyak dana pembangunan basilika, tempat untuk mera-yakan Ekaristi (tidak lagi di rumah umat).

Pada saat inilah muncul upacara agung di gereja yang besar. Prosesi, nyanyian bernotasi karya St. Ambrose, lagu litani yang memadukan suara ribuan anggota koor, asap dupa, lonceng, kebiasaan mencium benda-benda sakral. Genufleks juga mulai digunakan pada masa ini.

Ketika mempersembahkan Misa, imam mengenakan jubah Senator Romawi, dikenal sebagai “vestment” karena selalu tetap bentuknya. Cawan dan piala sederhana disempurnakan.

Dalam era ini bermunculan uskup yang luar biasa, yang kini disebut sebagai Bapa Gereja, antara lain Agustinus dan Krisostomus, yang homilinya kaya dengan teologi dan aplikasi pastoran. Tema mereka termasuk “Tubuh Kristus (Ekaristi) membangun Tubuh Kristus (Gereja).”

4. Ekaristi Terasa Jauh bagi Kebanyakan Umat
Katedral berarsitektur Gothik yang agung bermunculan di abad pertengahan di Eropa. Prosesi reli-gius dalam perayaan orang kudus, kebiasaan berziarah ke tempat-tempat suci, lahirnya berbagai ordo  religius menandai era yang oleh para sejarahwan dinamakan sebagai “era kebangkitan iman.”

Partisipasi umat dalam Misa menjadi terbatas. Sekat tembok atau teralis besi memisahkan umat dari altar dan koor. Biarawan dan imam sering menyelenggarakan liturgi untuk kalangan mereka sendiri tanpa umat. Misa dipersembahkan dalam bahasa Latin, bukan bahasa sehari-hari awam. Ketika umat protes karena susahnya mengikuti Misa, altar tambahan disediakan di samping altar utama. Imam menghadap ke tembok dan berdoa dalam bahasa Latin.

Atas permintaan umat, imam mengangkat hosti tinggi-tinggi agar bisa terlihat oleh mereka yang ada di belakang. Konsili Lateran IV (tahun 1215) memperkenalkan ajaran transubstansiasi, yaitu bahwa roti berubah menjadi tubuh Kristus sebagai  sanggahan atas pandangan sesat Berengar dari Tours yang menyakini bahwa semuanya hanyalah simbol belaka. Konsili ini mengingatkan pentingnya umat  menerima komuni, minimal setahun sekali pada Paskah. Adorasi pada Sakramen Maha Kudus banyak dilakukan pada era ini.

5. Reformasi dan Misa Tridentin
Dewan Uskup bertemu dalam Konsili Trente untuk membahas pembaruan liturgi (tahun 545). Paus Pius V (1570) menerbitkan buku panduan perayaan Misa Kudus untuk Gereja Barat. Partisipasi umat lebih bersifat devosional daripada liturgis.Teks Misa ditulis dalam bahasa Latin, yang selanjutnya dikenal dengan Misa Tridentin (dari asal kata Trente).

Yesuit memperkenalkan arsitektur Baroque yang tidak bersekat pemisah koor.Jarak altar dan umat diperdekat,hanya dibatasi teralis. Altar yang kaya dekorasi diletakkan merapat ke dinding.

Pulpit (semacam mimbar bertangga) dominan di tengah Gereja untuk menekankan pentingnya sermon daripada homili. Ibadat dilakukan dengan penuh hikmat dan semarak, untuk menandingi era Reformasi. Musik Palestrina, Haydn dan Mozart kadang diperdengarkan dalam Gereja. Sedangkan musik Bach banyak dijumpai di gereja Protestan.

Lazimnya Ekaristi kala itu diselanggarakan tanpa musik dan umat biasanya hening. Gereja Katolik berubah menjadi tempat untuk mempraktekkan berbagai spiritualitas misalnya Latihan Rohani Santo Ignasius, Karmelit dan St. Francis de Sales.

6. Misa dalam Era Konsili Vatikan II
Sejak seabad sebelum Konsili Vatikan II, ada beberapa perubahan dalam liturgi. Paus Pius X (1903-1914) menyarankan penggunaan lagu Gregorian, mendorong umat untuk sering menerima komuni dan menurunkan usia Komuni Pertama menjadi tujuh tahun. Mediator Dei karya Pius XII (1947) menjadi cikal bakal dari pembaruan liturgi. Demikian pula, karya-karya lain misalnya The Mass of Roman Rite karya Jungmann SJ, Orate Frates dll. Semuanya ini secara tidak langsung ikut mempengaruhi kebutuhan pembaruan itu.

Sehingga ketika dibahas dalam Konsili Vatikan II  (1962-1965), Konstitusi Liturgi disetujui secara
aklamasi oleh para Uskup peserta dan merupakan dokumen pertama buah karya Konsili.

Beberapa perubahan yang terjadi misalnya: imam menghadap ke umat ketika memimpin Misa. Penggunaan bahasa setempat (Vernacular) menggantikan bahasa Latin. Umat saling berjabat tangan untuk memberikan salam damai. Umat didorong untuk berpartisipasi aktif dalam Misa misalnya dalam koor atau doa-doa khusus.

Umat bisa menerima komuni dengan tangan atau langsung ke mulut, tidak harus berlutut, boleh
berdiri ketika menerima komuni. Baik komuni ataupun anggur disediakan dalam Ekaristi.

Awam dan juga kaum religius boleh membantu pelayanan komuni. Diakon yang menikah muncul
dalam Misa untuk membantu imam dan kadangkadang mereka pun memberikan homili. Prosesi
persembahan ditambahkan.

Bacaan Misa dalam tiga seri tahun liturgi, diambil dari kutipan Kitab Suci. Homili dimaksudkan untuk menjelaskan makna Bacaan dan kaitannya dengan kehidupan sehari-hari.

Arsitektur gereja lebih menekankan segi fungsional dan minimalis dalam dekorasi. Bentuk melebar seperti auditorium lebih diminati daripada berlorong panjang menuju altar, Musik gitar semakin sering digunakan [di samping organ]. Begitu pula lagu-lagu baru diciptakan.

Kesimpulan
Dari pembahasan sejarah singkat Misa tersebut di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa begitu banyak perubahan tata cara, terlepas dari besar atau pun kecil, yang terjadi sejak Perjamuan Malam Terakhir. Sekalipun demikian, hal yang mendasar tetap sama.

Dalam konteks inilah perayaan Ekaristi bisa dikatakan sebagai realita yang dinamis dan hidup. Sementara kita tidak menghendaki eksperimentasi konstan, namun kita perlu untuk terus memperhatikan dengan penuh cinta kualitas Misa sebagai perayaan ilahi. Karena itu kita dapat memuji dan bersyukur kepada Allah: Bapa, Putera dan Roh Kudus.

Alfred McBride, O.Praem dalam Catholic Update edisi Oktober 2006 
Alih bahasa: F. Budhijanto

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *